Minggu, 15 Maret 2015

Harga Karet Saat Ini Merosot Tajam



EKONOMI — Petani karet di Tulang Bawang Dan Tulang Bawang Barat menjerit karena harga komoditas ini merosot. Harga karet alam kini sekitar Rp 6.000 per kilogram, lebih rendah dibandingkan harga akhir tahun 2013 sampai 2014 sebesar Rp 8.000 per kilogram.
Padahal, hammpir 70 persen karet alam dunia dihasilkan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Anggota Komisi IV DPR Anton Sukartono Suratto mengatakan, petani sebaiknya harus siap menghadapi harga yang berfluktuasi. “Ini bisa terjadi dalam waktu yang lama,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya.
Turunnya harga karet sekarang ini baru sebatas akibat tidak langsung. Sementara, ujar Anton, akibat langsungnya adalah ketika nanti krisis Eropa semakin merambah ke negara-negara lain. Solusi terbaik yang harus dilakukan adalah dengan mengatur pasokan dan permintaan melalui kementerian perdagangan.
Untuk mengatasi fluktuasi harga komoditas, kata Anton, pemerintah harus mampu mendorong pengembangan industri hilir dan industri hulu domestik. Karena, pengembangan hilir domestik dapat mengurangi ketergantungan sektor perkebunan terhadap situasi pasar komoditas primer internasional.
Anton juga mengatakan saat ini Indonesia baru memanfaatkan tidak lebih 13 persen produksi karet alam nasional untuk industri hilir. Mengingat 85 persen dari luas perkebunan karet di Tanah Air merupakan perkebunan rakyat, maka hasil kebun petani mampu menghasilkan produk karet alam sebanyak 2,210 juta ton.
Sementara, perusahaan perkebunan (BUMN) menghasilkan 252 ribu ton, dan perkebunan besar swasta diperkirakan mampu memproduksi 274 ribu ton karet alam pada 2010 dan menjadi 276 ribu ton pada 2011. “Masalahnya, tinggal bagaimana pemerintah memberikan berbagai skema insentif kepada para investor untuk mengembangkan industri karet ini dengan menyediakan teknologi,” ujar dia.Harga karet terus menunjukkan pelemahan. Untuk mengantisipasi pelemahan harga lebih lanjut, pada Maret ini akan diadakan pertemuan antar negara-negara produsen karet seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Mengutip laporan tribun (13/03/14), Iman Pambagyo, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan, dalam pertemuan tersebut akan membahas ITRC dalam menjaga stabilitas harga karet. “Pertemuan special meeting membahas harga karet yang jatuh,” kata Iman, Kamis (13/3).
Dalam pertemuan itu akan diundang juga negara produsen karet lain, seperti Vietnam dan Kamboja.
Selama ini, penerapan skema pengurangan ekspor dan pelaksanaan program peremajaan pohon yang dilakukan negara anggota ITRC tidak berdampak signifikan lantaran, beberapa negara produsen karet lain tetap melakukan ekspor dengan cukup deras.
Iman bilang, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga karet dunia saat ini masih belum melar meski tren perekonomian dunia mulai membaik. “Vietnam mempengaruhi ITRC, dan permintaan di pasar. Industri manufaktur belum pulih,” ujar Iman.
Berbeda: Hampir 70% karet alam dunia dihasilkan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun, dalam beberapa bulan ini harga karet turun drastis. Hal ini membuat para petani menjerit. Betapa tidak, dibanding pada akhir 2013, harga karet mampu mencapai Rp.8.000 per Kg, tetapi saat ini hanya mampu menembus Rp6000 per Kg.
Anggota Komisi IV DPR-RI, Anton Sukartono Suratto mengatakan, petani sebaiknya harus siap menghadapi harga yang berfluktuasi. “Ini bisa terjadi dalam waktu yang lama. Karena menurut saya, turunnya harga karet sekarang ini baru akibat tidak langsung. Sementara akibat langsungnya adalah ketika nanti krisis Eropa semakin merambah ke negara-negara lainnya,” jelas Anton, di Jakarta, Sabtu, 8 Maret 2014.
Menurutnya, solusi terbaik yang harus dilakukan adalah dengan mengatur supply dari demand melalui kementerian perdagangan. Untuk mengatasi fluktuatifnya harga komoditas, pemerintah harus mampu mendorong pengembangan industri hilir dan industri hulu domestik. Karena pengembangan hilir domestik dapat mengurangi ketergantungan sektor perkebunan terhadap situasi pasar komoditas primer internasional.
Anton menambahkan, saat ini Indonesia baru memanfaatkan tidak lebih 13% produksi karet alam nasional untuk industri hilir. Sementara, katanya, mengingat 85% dari luas perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat, maka mereka mampu menghasilkan produk karet alam sebanyak 2,210 juta ton.
Sementara, lanjutnya, perusahaan perkebunan (BUMN) menghasilkan 252,000 ton, dan perkebunan besar swasta diperkirakan mampu memproduksi 274 000 ton karet alam pada 2010 dan menjadi 276 000 ton pada 2011. “Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah memberikan berbagai skema insentif kepada para investor untuk mengembangkan industri karet ini dengan menyediakan teknologi,” papar pria yang kerap disapa Kang Anton ini.
Dari sektor hulu pemerintah diharapkan juga membantu petani dalam mengintensifikasi tanaman karet, sehingga para petani tidak perlu memiliki lahan yang luas. Akan tetapi, bagaimana petani dapat meningkatkan produktivitasnya dari 1000 kg menjadii 1500-1800 kg per hektar.
Menurut saya harga karet selama ini memang ditentukan oleh harga karet dunia. “Jadi, ketika pasaran harga di dunia turun maka pasaran harga di tingkat petani juga akan turun. seharusnya petani tidak hanya mengandalkan produksi karet, tetapi bagaimana agar mereka diiversifikasi tanaman-tanaman yang menguntungkan atau komoditas pertanian lain yang bisa menopang penghidupan mereka seperti tanaman nilam yang lagi heboh-hebonya di beberapa daerah di Indonesia. “Solusi lain mungkin, pemerintah ada baiknya menyediakan dana untuk membeli karet kepada petani hingga mencapai titik harga break event point yang mebuat petani tidak terlalu merugi,”

0 komentar: