EKONOMI — Petani karet di Tulang Bawang Dan Tulang Bawang Barat menjerit karena harga
komoditas ini merosot. Harga karet alam kini sekitar Rp 6.000 per
kilogram, lebih rendah dibandingkan harga akhir tahun 2013 sampai 2014 sebesar Rp
8.000 per kilogram.
Padahal, hammpir 70 persen karet alam dunia dihasilkan di Indonesia,
Malaysia, dan Thailand. Anggota Komisi IV DPR Anton Sukartono Suratto
mengatakan, petani sebaiknya harus siap menghadapi harga yang
berfluktuasi. “Ini bisa terjadi dalam waktu yang lama,” ujar dia dalam
keterangan tertulisnya.
Turunnya harga karet sekarang ini baru sebatas akibat tidak langsung.
Sementara, ujar Anton, akibat langsungnya adalah ketika nanti krisis
Eropa semakin merambah ke negara-negara lain. Solusi terbaik yang harus
dilakukan adalah dengan mengatur pasokan dan permintaan melalui
kementerian perdagangan.
Untuk mengatasi fluktuasi harga komoditas, kata Anton, pemerintah
harus mampu mendorong pengembangan industri hilir dan industri hulu
domestik. Karena, pengembangan hilir domestik dapat mengurangi
ketergantungan sektor perkebunan terhadap situasi pasar komoditas primer
internasional.
Anton juga mengatakan saat ini Indonesia baru memanfaatkan tidak
lebih 13 persen produksi karet alam nasional untuk industri hilir.
Mengingat 85 persen dari luas perkebunan karet di Tanah Air merupakan
perkebunan rakyat, maka hasil kebun petani mampu menghasilkan produk
karet alam sebanyak 2,210 juta ton.
Sementara, perusahaan perkebunan (BUMN) menghasilkan 252 ribu ton,
dan perkebunan besar swasta diperkirakan mampu memproduksi 274 ribu ton
karet alam pada 2010 dan menjadi 276 ribu ton pada 2011. “Masalahnya,
tinggal bagaimana pemerintah memberikan berbagai skema insentif kepada
para investor untuk mengembangkan industri karet ini dengan menyediakan
teknologi,” ujar
dia.Harga karet
terus menunjukkan pelemahan. Untuk mengantisipasi pelemahan harga lebih
lanjut, pada Maret ini akan diadakan pertemuan antar negara-negara
produsen karet seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tergabung
dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Mengutip laporan tribun (13/03/14), Iman Pambagyo, Direktur Jenderal
Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan
(Kemendag) mengatakan, dalam pertemuan tersebut akan membahas ITRC dalam
menjaga stabilitas harga karet. “Pertemuan special meeting membahas
harga karet yang jatuh,” kata Iman, Kamis (13/3).
Dalam pertemuan itu akan diundang juga negara produsen karet lain, seperti Vietnam dan Kamboja.
Selama ini, penerapan skema pengurangan ekspor dan pelaksanaan program
peremajaan pohon yang dilakukan negara anggota ITRC tidak berdampak
signifikan lantaran, beberapa negara produsen karet lain tetap melakukan
ekspor dengan cukup deras.
Iman bilang, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga karet
dunia saat ini masih belum melar meski tren perekonomian dunia mulai
membaik. “Vietnam mempengaruhi ITRC, dan permintaan di pasar. Industri
manufaktur belum pulih,” ujar Iman.
Berbeda: Hampir 70% karet alam dunia dihasilkan di Indonesia,
Malaysia, dan Thailand. Namun, dalam beberapa bulan ini harga karet
turun drastis. Hal ini membuat para petani menjerit. Betapa tidak, dibanding pada akhir 2013,
harga karet mampu mencapai Rp.8.000 per Kg, tetapi saat ini hanya mampu
menembus Rp6000 per Kg.
Anggota Komisi IV DPR-RI, Anton Sukartono Suratto mengatakan, petani
sebaiknya harus siap menghadapi harga yang berfluktuasi. “Ini bisa
terjadi dalam waktu yang lama. Karena menurut saya, turunnya harga
karet sekarang ini baru akibat tidak langsung. Sementara akibat
langsungnya adalah ketika nanti krisis Eropa semakin merambah ke
negara-negara lainnya,” jelas Anton, di Jakarta, Sabtu, 8 Maret 2014.
Menurutnya, solusi terbaik yang harus dilakukan adalah dengan
mengatur supply dari demand melalui kementerian perdagangan. Untuk
mengatasi fluktuatifnya harga komoditas, pemerintah harus mampu
mendorong pengembangan industri hilir dan industri hulu domestik. Karena
pengembangan hilir domestik dapat mengurangi ketergantungan sektor
perkebunan terhadap situasi pasar komoditas primer internasional.
Anton menambahkan, saat ini Indonesia baru memanfaatkan tidak lebih
13% produksi karet alam nasional untuk industri hilir. Sementara,
katanya, mengingat 85% dari luas perkebunan karet Indonesia merupakan
perkebunan rakyat, maka mereka mampu menghasilkan produk karet alam
sebanyak 2,210 juta ton.
Sementara, lanjutnya, perusahaan perkebunan (BUMN) menghasilkan
252,000 ton, dan perkebunan besar swasta diperkirakan mampu memproduksi
274 000 ton karet alam pada 2010 dan menjadi 276 000 ton pada 2011.
“Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah memberikan berbagai skema
insentif kepada para investor untuk mengembangkan industri karet ini
dengan menyediakan teknologi,” papar pria yang kerap disapa Kang Anton
ini.
Dari sektor hulu pemerintah diharapkan juga membantu petani dalam
mengintensifikasi tanaman karet, sehingga para petani tidak perlu
memiliki lahan yang luas. Akan tetapi, bagaimana petani dapat
meningkatkan produktivitasnya dari 1000 kg menjadii 1500-1800 kg per
hektar.
Menurut saya harga karet selama ini memang ditentukan oleh harga karet
dunia. “Jadi, ketika pasaran harga di dunia turun maka pasaran harga di
tingkat petani juga akan turun. seharusnya petani tidak hanya
mengandalkan produksi karet, tetapi bagaimana agar mereka diiversifikasi
tanaman-tanaman yang menguntungkan atau komoditas pertanian lain yang
bisa menopang penghidupan mereka seperti tanaman nilam yang lagi heboh-hebonya di beberapa daerah di Indonesia. “Solusi lain
mungkin, pemerintah ada baiknya menyediakan dana untuk membeli karet
kepada petani hingga mencapai titik harga break event point yang mebuat
petani tidak terlalu merugi,”